MAKALAH PROBLEMATIKA PENENTUAN ARAH KIBLAT


Description: stit.jpg

Problematika Penentuan Arah Kiblat

Makalah ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Masailul Fiqhiyyah
Dosen Pengampu :  Mustofa Kamal, S. S., M. Ag.


Oleh :
Danu Sanjaya
NIM. 3150006
Syifa Kharisma Putri
NIM. 3150027
Umi Latifah
NIM. 3150038
Barep Aji Prakoso
NIM. 31500




PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)
SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH (STIT) PEMALANG
TAHUN 2018
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Menghadap kiblat itu termasuk salah satu syarat sahnya salat. Apabila tidak menghadap kiblat, maka salatnya tidak sah. Kiblat umat Islam yaitu Ka’bah yang berada di Mekah Arab Saudi.
Dalam penentuan arah kiblat, pada masa awal Islam; dinyatakan sejak zaman Nabi dan para sahabat dikembangkan teori penentuan arah kiblat menggunakan benda langit sebagai pedoman. Ketika Nabi berada di Madinah, beliau berijtihad salat menghadap ke selatan. Posisi Madinah yang berada di utara Mekah menjadikan posisi arah ke Ka’bah menghadap ke selatan.
Secara historis cara penentuan arah kiblat di Indonesia berkembang sesuai dengan kualitas dan kapasitas intelektual di kalangan kaum muslimin. Perkembangan penentuan arah kiblat ini dapat dilihat dari perubahan besar di masa Muhammad Arsyad al-Banjārī  dan Kyai Ahmad Dahlan atau dapat dilihat pula dari alat-alat yang digunakan untuk mengukurnya, seperti miqyas; tongkat Istiwa, Rubu’ Mujayyab, kompas, dan theodolit. Selain itu sistem perhitungan yang digunakan juga mengalami perkembangan.[1]

B.     Rumusan Masalah
Dengan melihat latar belakang diatas maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah :
1.      Apa pengertian kiblat ?
2.      Apa problematika dalam penentuan arah kiblat ?
3.      Bagaimana konsep ijtihad dalam penentuan arah kiblat ?
C.    Tujuan Makalah
Dengan melihat rumusan masalah diatas maka tujuan dalam makalah ini adalah :
1.      Untuk mengetahui pengertian kiblat,
2.      Untuk mengetahui problematika dalam penentuan arah kiblat,
3.      Untuk mengetahui konsep ijtihad dalam penentuan arah kiblat.
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Arah Kiblat
Kata kiblat berasal dari bahasa Arab القبلة asal katanya ialah مقبلة artinya adalah keadaan arah yang dihadapi. Kemudian pengertiannya dikhususkan pada suatu arah, dimana semua orang yang akan mendirikan shalat menghadap kepada bangunan Ka’bah di Masjidil Haram, Makkah, Arab Saudi.[2]
Dasar hukum dalam menghadap arah kiblat yaitu,
1.      Q.S Al Baqarah 144
ôs% 3ttR |==s)s? y7Îgô_ur Îû Ïä!$yJ¡¡9$# ( y7¨YuŠÏj9uqãYn=sù \'s#ö7Ï% $yg9|Êös? 4 ÉeAuqsù y7ygô_ur tôÜx© ÏÉfó¡yJø9$# ÏQ#tysø9$# 4 ß]øŠymur $tB óOçFZä. (#q9uqsù öNä3ydqã_ãr ¼çntôÜx© 3 ¨bÎ)ur tûïÏ%©!$# (#qè?ré& |=»tGÅ3ø9$# tbqßJn=÷èus9 çm¯Rr& ,ysø9$# `ÏB öNÎgÎn/§ 3 $tBur ª!$# @@Ïÿ»tóÎ/ $£Jtã tbqè=yJ÷ètƒ ÇÊÍÍÈ  
“Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit,[3] Maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. dan dimana saja kamu berada, Palingkanlah mukamu ke arahnya. dan Sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.”[4]

2.      Hadis riwayat Imam Bukhari
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ رَجَاءٍ قَالَ حَدَّثَنَا إِسْرَائِيلُ عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ عَنْ الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى نَحْوَ بَيْتِ الْمَقْدِسِ سِتَّةَ عَشَرَ أَوْ سَبْعَةَ عَشَرَ شَهْرًا وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُحِبُّ أَنْ يُوَجَّهَ إِلَى الْكَعْبَةِ فَأَنْزَلَ اللَّهُ { قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ } فَتَوَجَّهَ نَحْوَ الْكَعْبَةِ وَقَالَ السُّفَهَاءُ مِنْ النَّاسِ وَهُمْ الْيَهُودُ { مَا وَلَّاهُمْ عَنْ قِبْلَتِهِمْ الَّتِي كَانُوا عَلَيْهَا قُلْ لِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ } فَصَلَّى مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ ثُمَّ خَرَجَ بَعْدَ مَا صَلَّى فَمَرَّ عَلَى قَوْمٍ مِنْ الْأَنْصَارِ فِي صَلَاةِ الْعَصْرِ نَحْوَ بَيْتِ الْمَقْدِسِ فَقَالَ هُوَ يَشْهَدُ أَنَّهُ صَلَّى مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَّهُ تَوَجَّهَ نَحْوَ الْكَعْبَةِ فَتَحَرَّفَ الْقَوْمُ حَتَّى تَوَجَّهُوا نَحْوَ الْكَعْبَةِ.
Telah menceritakan kepada kami 'Abdullah bin Raja' berkata, telah menceritakan kepada kami Israil dari Abu Ishaq dari Al Bara' bin 'Azib radliallahu 'anhuma berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam shalat menghadap Baitul Maqdis selama enam belas atau tujuh belas bulan, dan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menginginkan kiblat tersebut dialihkan ke arah Ka’bah. Maka Allah menurunkan ayat: ("Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit”) (QS. al Baqarah: 144). Maka kemudian Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menghadap ke Ka’bah. Lalu berkatalah orang-orang yang kurang akal, yaitu orang-orang Yahudi: '(Apakah yang memalingkan mereka (umat Islam) dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka telah berkiblat kepadanya?’ Katakanlah: ("Kepunyaan Allah-lah timur dan barat. Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus”) (QS. al Baqarah: 142). Kemudian ada seseorang yang ikut shalat bersama Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, orang itu kemudian keluar setelah menyelesaikan shalatnya. Kemudian orang itu melewati Kaum Anshar yang sedang melaksanakan shalat 'Ashar dengan menghadap Baitul Maqdis. Lalu orang itu bersaksi bahwa dia telah shalat bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dengan menghadap Ka’bah. Maka orang-orang itu pun berputar dan menghadap Ka’bah.”(HR. Bukhari,(Hadits no. 384 dalam Shahih Bukhari)

B.     Problematika Penentuan Arah Kiblat
Problematika berasal dari bahasa Inggris yaitu problematic yang artinya persoalan atau masalah. Sedangkan dalam bahasa Indonesia, problema berarti hal yang belum dapat dipecahkan yang menimbulkan permasalahan.[5]
Beberapa faktor diduga kuat menjadi penyebab kesalahan dalam penentuan arah kiblat masjid di masyarakat, antara lain:
1.      Arah kiblat masjid  ditentukan sekadar perkiraan dengan mengacu secara kasar pada arah kiblat masjid yang sudah ada. Pada hal masjid yang dijadikan acuan belum tentu presisi arah kiblatnya. Apabila membangun sebuah masjid baru, arah kiblatnya hanya mengikuti masjid yang berdekatan yang telah lebih dahulu dibangun. Ketika masjid yang dijadikan acuan itu arah kiblatnya tidak presisi, maka akan kelirulah arah kiblat masjid-masjid yang dibangun mengacu  kepadanya. 
2.      Sebagian masjid arah kiblatnya ditentukan menggunakan alat yang kurang atau tidak akurat.
a.       Menggunakan silet, Biasanya menggunakan silet yang baru yang ditaruh di atas air yang terdapat di dalam baskom. Arah yang ditunjukkan oleh silet tersebut, yakni kutub utara dan selatan yang dijadikan acuan penentuan arah kiblat. Padahal arah yang ditunjukkan silet tersebut bukan arah kutub utara dan selatan bumi tapi arah kutub utara dan selatan magnet.
b.      Penggunaan kompas yang tingkat akurasinya rendah. Perlu diperhatikan bahwa di pasaran banyak beredar berbagai macam merek kompas, kita perlu terlebih dahulu mengecek tingkat akurasinya terlebih dahulu.
c.       Menggunakan kompas tanpa melakukan pengecekan atau mengoreksi deklinasi magnetiknya. Informasi tentang besaran koreksian/deklinasi magnetik ini dapat diperoleh dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG).
d.      Menurut Muhammad Teguh Sobri sebagian masyarakat menggunakan kompas yang terdapat pada sajadah yang biasanya dibawa sebagai oleh-oleh dari tanah suci ketika melaksanakan ibadah haji. Padahal kompas tersebut tidaklah akurat dan fungsinya  hanya acesoris saja.
3.      Terkadang dalam penentuan arah kiblat masjid atau musala ditentukan oleh seseorang yang ditokohkan dalam masyarakat tersebut. Pada hal belum tentu sang tokoh tersebut mampu melakukan penentuan arah kiblat secara benar dan akurat. Sehingga boleh jadi yang bersangkutan menetapkannya dengan mengira-ngira saja yang mungkin melenceng dari yang seharusnya. Ketika dalam penentuan arah kiblat itu tidak dilakukan perhitungan dan pengukuran secara akurat maka akan diperoleh hasil yang tidak presisi.
4.      Sebelum pembangunan arah kiblat masjid telah diukur secara benar oleh ahlinya. Tapi dalam tahap pembangunannya terjadi pergeseran-pergeseran oleh tukang yang mengerjakannya tanpa dilakukan pemantauan lebih lanjut. Kesalahan ini tentulah akan menghasilkan arah kiblat yang tidak presisi bahkan  mungkin  melenceng  secara  signifikan.
5.      Pendapat yang menyatakan bahwa arah kiblat adalah barat. Sehingga ketika pengukuran arah kiblat masjid hanya mengarahkannya ke barat. Masyarakat suku Jawa adalah masyarakat yang punya tradisi pemahaman yang baik tentang arah mata angin. Namun terdapat sedikit kekeliruan pemahaman mereka tentang arah kiblat, umumnya mereka memahami arah kiblat adalah barat.
6.      Bahkan ada juga masjid yang dibangun lebih mempertimbangkan nilai artistik dan keindahan alih-alih perhitungan dan pengukuran arah kiblatnya yang presisi.Bangunan masjid disejajarkan dengan jalan raya yang terdapat di dekatnya agar terlihat harmoni dan lebih tertata rapi walaupun kadang-kadang mengabaikan arah kiblat yang seharusnya.
Itulah beberapa faktor yang berpotensi menyebabkan arah kiblat suatu masjid tidak tepat atau tidak presisi. Dari penjelasan di atas dapat digarisbawahi bahwa faktor yang menyebabkan arah kiblat masjid itu melenceng adalah faktor tidak diukur secara benar sebelum atau dalam proses pembangunannya.[6]
C.    Konsep Ijtihad Penentuan Arah Kiblat
Kesemua empat mazhab yaitu Hanafi, Maliki, Syafii dan Hambali telah bersepakat bahwa menghadap kiblat merupakan salah satu syarat sahnya shalat. Ada tiga kaidah dasar yang bisa digunakan untuk memenuhi syarat menghadap kiblat yaitu:
1.      Menghadap Kiblat Yakin (Ainul Ka’bah)
Seseorang yang berada di dalam Masjidil Haram dan melihat langsung Ka'bah, wajib menghadapkan dirinya ke Kiblat dengan penuh yakin. Ini yang juga disebut sebagai “Ainul Ka’bah”. Kewajiban tersebut bisa dipastikan terlebih dahulu dengan melihat atau menyentuhnya bagi orang yang buta atau dengan cara lain yang bisa digunakan misalnya pendengaran. Sedangkan bagi seseorang yang berada dalam bangunan Ka’bah itu sendiri maka kiblatnya adalah dinding Ka’bah.

2.      Menghadap Kiblat Perkiraan (jihadul ka’bah)
Seseorang yang berada jauh dari Ka'bah yaitu berada diluar Masjidil Haram atau di sekitar tanah suci Mekkah sehingga tidak dapat melihat bangunan Ka’bah, mereka wajib menghadap ke arah Masjidil Haram sebagai maksud menghadap ke arah Kiblat secara dzan atau kiraan atau disebut sebagai “Jihadul Ka’bah”. Untuk mengetahuinya dapat dilakukan dengan bertanya kepada mereka yang mengetahui seperti penduduk Makkah atau melihat tanda-tanda kiblat atau “shaff” yang sudah dibuat di tempat–tempat tersebut.

3.      Menghadap Kiblat Ijtihad (Kiblat Ijtihad)
Ijtihad arah kiblat digunakan seseorang yang berada di luar tanah suci Makkah atau bahkan di luar negara Arab Saudi. Bagi yang tidak tahu arah dan ia tidak dapat mengira Kiblat Dzan nya maka ia boleh menghadap kemanapun yang ia yakini sebagai Arah Kiblat. Namun bagi yang dapat mengira maka ia wajib ijtihad terhadap arah kiblatnya. Ijtihad dapat digunakan untuk menentukan arah kiblat dari suatu tempat yang terletak jauh dari Masjidil Haram. Diantaranya adalah ijtihad menggunakan posisi rasi bintang, bayangan matahari, arah matahari terbenam dan perhitungan segitiga bola maupun pengukuran menggunakan peralatan modern.[7]
Bagi lokasi atau tempat yang jauh seperti Indonesia, ijtihad arah kiblat dapat ditentukan melalui perhitungan falak atau astronomi serta dibantu pengukurannya menggunakan peralatan modern seperti kompas, GPS, theodolit dan sebagainya. Penggunaan alat-alat modern ini akan menjadikan arah kiblat yang kita tuju semakin tepat dan akurat. Dengan bantuan alat dan keyakinan yang lebih tinggi maka hukum Kiblat Dzan akan semakin mendekati Kiblat Yakin. Dan sekarang kaidah-kaidah pengukuran arah kiblat menggunakan perhitungan astronomis dan pengukuran.
Arah kiblat masjid yang melenceng dari arah yang sebenarnya secara signifikan, berarti orang yang salat tersebut tidak lagi menghadap ke Ka’bah di masjidil Haram, kota Mekah, atau bahkan Saudi Arabia. Jika dalam pengecekan arah kiblat, ditemukan masjid yang kurang tepat arah kiblatnya dengan kemelencengan yang cukup besar tentulah hal ini perlu dikoreksi atau dibetulkan, itu lebih utama karena sesuai dengan tuntunan Syar’i dan akurat secara sains.
BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan sebelumnya, pada kesimpulan ini diuraikan bahwa dalam penentuan arah kiblat masjid di tengah-tengah masyarakat terdapat perbedaan.
Perbedaan ini menurut penulis terkait dengan perkembangan kajian ilmu Falak di Indonesia dan masalah keyakinan yang berkembang di tengah-tengah mereka. Dapat dinyatakan bahwa penentuan arah kiblat tersebut tidak selalu beriringan dengan atau dalam bahasa lain sesuai dengan perkembangan sains itu sendiri. Misalnya sampai saat ini terdapat kalangan yang masih menggunakan metode yang telah lama (tradisional).
Dan jika ada masjid yang arah kiblatnya melenceng maka yang berkewajiban merubah adalah Lembaga Badan Hisab Rukyat Kementrian Agama setempat dan pihak pihak yang berwenang agar tidak terjadi konflik antar sesama umat Islam.
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Izzuddin, Ilmu Falak Praktis, cet. II, 2012, Semarang : Pustaka Rizki Putra.

Bukhārī, Abi Abdillah Muhammad bin Ismail Al-, tth, , Şahih al-Bukhārī, Juz I, Beirut: Dar  al-Kutub al-‘Ilmīyah

Debdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2002, Jakarta : Bulan Bintang.


Kementerian  Agama RI, Al-qur’anulkarim Terjemah Tafsir Per-Kata, 2011, Bandung : CV.Insan Kamil.

Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, 2009, Bandung : Sinar Baru Algensindo.

Susiknan Azhari,  Ilmu Falak Teori dan Praktek. Cetakan ke-1. 2001, Yogyakarta: Lazuardi.


[1] Susiknan Azhari,  Ilmu Falak Teori dan Praktek. Cetakan ke-1. Yogyakarta: Lazuardi, 2001, hlm. 54
[2] Ahmad Izzuddin, Ilmu Falak Praktis, cet. II, Semarang : Pustaka Rizki Putra, 2012, hlm. 18
[3] Maksudnya ialah Nabi Muhammad s.a.w. sering melihat ke langit mendoa dan menunggu-nunggu turunnya wahyu yang memerintahkan beliau menghadap ke Baitullah.
[4] Kementerian  Agama RI, Al-qur’anulkarim Terjemah Tafsir Per-Kata, Bandung : CV.Insan Kamil, 2011, hlm. 22
[5] Debdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Bulan Bintang, 2002, hlm.276.
[6]                http://jayusmanfalak.blogspot.co.id/2013/02/permasalahan-arah-kiblat-antara_4415.html?m=1 diakses pada 22 Maret 2018 Pukul 00.05 WIB
[7] Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, Bandung : Sinar Baru Algensindo, 2009, hlm. 71-74.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makalah Kasus Pelanggaran Kode Etik Guru Republik Indonesia

Makalah Asal Asul Tasawuf

Gurumu Adalah Kunci Surgamu